Laman

Sabtu, 01 Oktober 2011

Korupsi dan Dampak Bagi Perekonomian Indonesia

Definisi korupsi sesungguhnya beragam. Namun jika dipandang dari sisi ekonomi, korupsi berarti the misuse of public office for private gain. Dari sudut pandang ini pula, korupsi biasa terjadi di negara dengan sejumlah ciri berikut ini:
  1. Peran dominan dalam perekonomian dipegang oleh negara, sementara sektor swasta hanya memiliki peran sangat kecil. 
  2. Pemenuhan sebagian besar produk dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat dilakukan oleh negara, sementara hanya sebagian kecil yang disediakan oleh swasta.
  3. Banyaknya kebijakan yang dibuat oleh pejabat public dalam rangka mengimplementasikan peraturan negara.
  4. Minimnya transparansi dan akuntabilitas.

Berdasarkan ciri-ciri di atas, dapat dikatakan pada saat negara cenderung punya monopoly power yang tinggi, maka korupsi dengan mudah akan terjadi. Masalah birokrasi dan perundangan yang lemah akan memperbesar kemungkinan aparat negara korup.
Tak pelak, sektor swasta harus membayar nominal tertentu kepada pejabat negara untuk mempermudah birokrasi atau justru untuk tidak diintervensi dalam proses produksinya. Inilah mengapa di negara berkembang, dimana monopoli kekuasaan berada di tangan pemerintah, korupsi cenderung tinggi.

Korupsi juga menyebabkan terjadinya inefisiensi. Sebab, uang yang dibayarkan ke pemerintah dalam bentuk pajak tidak teralokasikan kepada penyediaan barang publik dengan semestinya. Sebaliknya, dana tersebut mengalir ke kantong pengusaha dan oknum pemerintah. Akibatnya, kuantitas dan kualitas pelayanan publik lebih rendah daripada seharusnya.

Biaya yang ditanggung akibat perilaku korupsi yang sering dilakukan aparatur negara terhadap pelaku ekonomi swasta ini dalam terminology ekonomi sering disebut High Cost Economy. High Cost Economy ini mengakibatkan melambatnya roda perekonomian suatu negara sehingga pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan dan pembangunan ekonomi suatu negara.

Dalam beberapa penelitian yang dilakukan oleh peneliti ekonomi Mauro (Corruption and Growth, 1995), ditemukan pola hubungan korupsi dengan variable ekonomi lainnya. Korupsi, dalam riset tersebut, memiliki hubungan yang terbalik terhadap investasi dan pertumbuhan ekonomi serta pengeluaran pemerintah, khususnya untuk program sosial dan kesejahteraan masyarakat.

Korupsi, menurut Mauro, dalam sistem birokrasi pemerintah mempunyai korelasi yang signifikan terhadap alokasi penggunaan anggaran negara. Dampak buruk dari korupsi, anggaran yang harusnya untuk meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan publik tidak terjadi. Namun, duit itu justru masuk kantong-kantong pejabat negara.

Bukan hanya itu. Peneliti ekonomi lainnya, Dieter Frish menyatakan korupsi menyebabkan meningkatnya biaya barang dan jasa. Akibatnya utang negara melonjak dan ujung-ujungnya menurunkan standar kualitas penyediaan barang dan jasa.

Indonesia yang dikenal sebagai salah satu negara dengan tingkat korupsi tinggi, memang sering mendapat sorotan soal kebocoran anggaran negara. Pada masa Orde Baru, korupsi tak banyak terungkap karena penguasa tertutup dan meredam kasus-kasus korupsi.

Pada era reformasi, sistem pemerintah lebih transparan sehingga banyak kasus korupsi terbongkar. Bahkan, kasus korupsi terungkap bukan hanya di pemerintah pusat, tetapi banyak terjadi di daerah seiring dengan diberlakukannya desentralisasi anggaran. Banyak pejabat daerah menjadi tersangka kasus korupsi APBD.

Walaupun demikian, tidak berarti ada perbaikan penanganan korupsi di Indonesia. Tengok saja posisi peringkat korupsi Indonesia versi CPI (Corruption Perception Index) yang dirilis oleh Transparency International (TI). Jika dilihat secara time series sejak tahun 2001 hingga 2008, dapat diketahui bahwa pasca reformasi, penanganan kejahatan korupsi di Indonesia semakin membaik.

Posisi Indonesia membaik dari peringkat 140 pada 2005 terus meningkat ke posisi 126 pada 2008. Meski ada perbaikan, dalam soal korupsi Indonesia masih sejajar dengan Eritrea, Ethiopia, Guyana, Honduras, Libya, Mozambique dan Uganda dalam pemberantasan korupsi.
Tahun
Peringkat
Negara Yang disurvei
2001
88
91
2002
96
102
2003
122
133
2004
137
146
2005
140
159
2006
130
163
2007
143
180
2008
126
180
Masalah korupsi di Indonesia sangat erat terkait dengan masalah birokrasi, buruknya penerapaan good governance, serta buruknya moral pelaku bisnis dan pejabat negara. Oligarki, atau tingkat kompetisi politik, yang terjadi di negara ini, masih relatif rendah, sehingga korupsi relatif lebih sulit untuk diberantas. Sebab kompetisi politik yang tinggi dapat menurunkan insentif dalam melakukan korupsi.

Ke depan, perlu langkah perbaikan lebih baik untuk mengatasi masalah korupsi ini, tidak hanya pada tahap instrumen perundangan yang mengikat pelaku, namun juga perbaikan moral pejabat negara, birokrasi dan good governance. Perbaikan ini diharapkan dapat menurunkan rent seeking bagi para pelaku korupsi.

Selain itu, kontrol sosial seperti media, laporan studi, indeks korupsi, maupun media yang mengangkat kasus-kasus korupsi diharapkan dapat mengurangi tindakan korupsi.


Tanzi & Davoodi (1998) membuktikan bahwa dampak korupsi pada pertumbuhan ekonomi dapat dijelaskan melalui empat hipotesis (semua dalam kondisi ceteris paribus):
  1. Hipotesis pertama: tingginya tingkat korupsi memiliki hubungan dengan tingginya investasi publik. Politisi yang korup akan meningkatkan anggaran untuk investasi publik. Sayangnya mereka melakukan itu bukan untuk memenuhi kepentingan publik, melainkan demi mencari kesempatan mengambil keuntungan dari proyek-proyek investasi tersebut. Oleh karena itu, walau dapat meningkatkan investasi publik, korupsi akan menurunkan produktivitas investasi publik tersebut. Dengan jalan ini korupsi dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi.
  2. Hipotesis kedua: tingginya tingkat korupsi berhubungan dengan rendahnya penerimaan negara. Hal ini terjadi bila korupsi berkontribusi pada penggelapan pajak, pembebasan pajak yang tidak sesuai aturan yang berlaku, dan lemahnya administrasi pajak. Akibatnya adalah penerimaan negara menjadi rendah dan pertumbuhan ekonomi menjadi terhambat. 
  3. Hipotesis ketiga: tingginya tingkat korupsi berhubungan dengan rendahnya pengeluaran pemerintah untuk operasional dan maintenance. Seperti yang diuraikan pada hipotesis pertama, politisi yang korup akan memperjuangkan proyek-proyek investasi publik yang baru. Namun, karena yang diperjuangkan hanya proyek-proyek yang baru (demi mendapat kesempatan mencari keuntungan demi kepentingan pribadi) maka proyek-proyek lama yang sudah berjalan menjadi terbengkalai. Sebagai akibatnya pertumbuhan ekonomi menjadi terhambat.
  4. Hipotesis keempat: tingginya tingkat korupsi berhubungan dengan kualitas investasi publik. Masih seperti yang terdapat dalam hipotesis pertama, bahwa dengan adanya niat politisi untuk korupsi maka investasi publik akan meningkat, namun perlu digarisbawahi bahwa yang meningkat adalah kuantitasnya, bukan kualitas. Politisi yang korup hanya peduli pada apa-apa yang mudah dilihat, bahwa telah berdiri proyek-proyek publik yang baru, akan tetapi bukan pada kualitasnya. Sebagai contoh adalah pada proyek pembangunan jalan yang dana pembangunannya telah dikorupsi. Jalan-jalan tersebut akan dibangun secara tidak memenuhi persyaratan jalan yang baik. Infrastruktur yang buruk akan menurunkan produktivitas yang berakibat pada rendahnya pertumbuhan ekonomi.

Berbeda dengan Tanzi dan Davoodi di atas, Mauro (1995) memiliki pendapat lain mengenai dampak korupsi pada investasi publik. Mauro membuktikan bahwa korupsi sesungguhnya berdampak pada rendahnya investasi publik, dan oleh karena itu pertumbuhan ekonomi pun menjadi rendah. Kedua penelitian tersebut memang memperlihatkan dampak korupsi pada investasi publik yang berbeda. Akan tetapi persamaan antara hasil kedua penelitian tersebut begitu jelas, yaitu bahwa korupsi berdampak pada rendahnya pertumbuhan ekonomi.


sumber : VIVA news
             www.blogekonomi.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar